REPUBLIKA.CO.ID, Pada 1139, saat menghadapi pembangkangan Roger II dari Sisilia, Paus Innocentius II melarang penggunaan crossbow, produk teknologi perang terbaru saat itu yang menimbulkan pengubahan strategi dan dilema etika, jika terjadi perang antarpemeluk Kristen. Tak lama setelah pelarangan itu keluar, pasukan Paus Innocentius II disergap oleh Roger III, putra Roger II bergelar Duke of Apulia, di Galluccio dan kalah.
Sejak saat itu, tidak ada lagi pelarangan penggunaan senjata teknologi baru dalam perang. Perjanjian Strasbourg 1675 yang melarang penggunaan peluru beracun dan Konferensi Jenewa 1925 yang melarang penggunaan senjata kimia (gas racun) dalam perang, semuanya dilanggar.
Perjanjian Strasbourg mengikat Prancis dan Holy Roman Empire. Sedangkan, Konferensi Jenewa 1925 mengikat banyak negara. Namun, negara-negara yang terikat perjanjian cenderung mengabaikan semua larangan dan menguji senjata—hasil teknologi apa pun—temuan baru di medan perang.
Mark R Jacobson, mantan Nato’s International Security Assistance Force in Afghanistan, menggunakan drone, senjata teknologi baru, sebagai senjata pilihan untuk menghadapi perang tanpa batas melawan teroris. Pertanyaannya, apakah penggunaan drone memberikan manfaat atau hanya menimbulkan kontroversi.
Sejauh ini, perdebatan tentang drone melulu hanya pada aspek teknologi, sasaran, dan transparansi. Perdebatan tidak menghasilkan apa-apa, kecuali kerumitan. Di sisi lain, sejumlah kesalahan persepsi masyarakat tentang drone terabaikan.
Drone bukan robot pembunuh yang bertindak sendiri saat membunuh atau membiarkan korbannya melanjutkan hidup. Drone bukan ‘terminator’, tapi pesawat tanpa awak yang dikendalikan dengan remote control oleh beberapa pilot Angkatan Udara. Jadi, drone adalah evolusi teknologi militer, bukan revolusi dalam perang.
Dari sisi moral dan etika, drone sedikit berbeda dibanding senapan, pesawat pengebom, dan tank. Keputusan apakah melancarkan tembakan atau tidak dilakukan oleh orang-orang yang mengendalikannya.
Jarak antara prajurit di medan perang tidak ada lagi. Namun, pilot pengendali drone memiliki kedekatan psikologis dibanding personel militer lainnya. Pilot menjadi begitu akrab dengan sasaran karena bisa mendeteksi kapan lawan tidur, makan bersama keluarga, atau sedang bersantai.
Sejumlah laporan menyebutkan betapa sulit bagi pilot pengendali drone berdamai dengan dirinya setelah menarik pelatuk, dan orang yang menjadi sasaran meregang nyawa. Beberapa pilot menembak sasaran yang sedang berada di dalam rumah atau sedang tidur.
Jadi, pertanyaan sulit yang harus dijawab bukan lagi tentang teknologi, tapi moral, pemilihan sasaran, dan transparansi. Ketika militan melawan AS secara global dan tidak mengenakan seragam seperti layaknya serdadu konvensional, muncul kekhawatiran terjadi salah sasaran saat harus menggunakan drone.
Pemerintah AS coba meredam kekhawatiran ini dengan merilis perincian dan proses penargetan. Namun, semua itu hanya mengurangi, bukan melenyapkan, kekhawatiran akan kemungkinan timbulnya korban sipil.
Drone dilengkapi dengan senjata berpresisi tinggi yang memungkinkan penggunanya bisa menembak siapa pun yang diinginkan. Namun, penggunaan drone di luar medan perang konvensional hanya akan menyulitkan pengendali membedakan antara sipil dan kombatan.
Pemerintah Barrack Obama, menurut New York Times, mempertimbangkan semua lelaki usia militer di kawasan yang menjadi target serangan drone sebagai kombatan. Namun, pendekatan ini tidak melaporkan adanya korban sipil. Peter Bergen, dari New American Foundation, mengatakan, sejak 2008 korban sipil drone menurun drastis dan kini mendekati nol.
Kendati masih bisa diperdebatkan, korban sipil dari penggunaan drone jelas lebih sedikit jika dibandingkan pengeboman secara masif . Penggunaan drone diyakini akan memunculkan ketakutan semua musuh-musuh AS dan memberikan keunggulan militer kepada Washington. Namun, John Bellinger, penasihat Departemen Luar Negeri pada pemerintahan George W Bush, khawatir drone menjadi sasaran fitnah dan publik di muka bumi ini menyetarakannya dengan Guantanamo.
Jika drone dianggap tidak layak digunakan dan setiap kematian orang tak berdosa kerap dikaitkan pada penggunaan drone, strategi perang melawan teroris yang dilancarkan AS akan berisiko. Artinya, jika drone harus dipensiunkan, AS akan sulit melancarkan serangan terhadap militan di berbagai belahan dunia.
Sederhananya, pengoperasian drone membuat perang tanpa korban dari pihak yang melancarkan serangan. Operator drone berjarak ribuan mil, tapi mampu menembak sasaran dengan presisi tinggi.
Namun, drone ternyata memberi rasa aman palsu. Kesuksesan pengoperasian drone membutuhkan verifikasi yang hanya bisa dilakukan dengan menerjunkan pasukan di wilayah yang menjadi target serangan. Artinya, negara yang mengoperasikan drone masih berisiko kehilangan serdadu. Serangan drone juga tidak memperbaiki atau menyadarkan negara yang menawarkan tempat bagi tumbuh-kembang teroris.
Adalah benar drone mampu menyerang secara akurat, tanpa diketahui, dan mengurangi bahaya kehilangan pilot berbakat. Namun, drone tidak bisa memaksa pemerintah suatu negara mempertimbangkan kebijakannya membiayai atau menjadikan wilayahnya sebagai tempat pelatihan teroris. Drone memberi janji berlebih bagi penggunanya.
Drone bersenjata tidak sesederhana model pesawat atau serumit jet tempur. Namun, drone tidak sama dengan helikopter remote-controlled yang bisa dibuat di dalam garasi mobil. MQ-9 Reaper, drone berharga 26,8 juta dolar AS, jauh lebih murah dibanding jet tempur.
Bagi negara-negara dengan anggaran militer terbatas, atau ingin menghemat pengeluaran untuk pertahanan, drone kemungkinan menjadi pilihan pengganti pesawat tempur. Bukan tidak mungkin sejumlah negara sedang mempertimbangkan untuk mengganti pesawat tempurnya dengan drone.
Saat ini, lebih 50 negara telah mengoperasikan drone surveillance. Bukan tidak mungkin drone bersenjata akan menjadi persenjataan standar dalam beberapa tahun ke depannya. Persoalannya adalah adakah konvensi internasional yang mengatur penggunaan drone bersenjata.
AS tampaknya sedang membangun kecenderungan ini dan menentukan aturan internasional penggunaan drone. Tentu saja AS tidak berharap banyak negara mengadopsi teknologi ini meski secara terbatas.
Jika AS gagal mengontrol penggunaan drone di banyak negara, bukan tidak mungkin kelompok teroris bisa mendapatkannya. Jika itu terjadi, AS harus mempersiapkan diri menjadi mangsa dan bukan lagi predator.
Bagaimana perencana militer AS akan mengenang Barrack Obama setelah presiden kulit hitam itu meninggalkan Gedung Putih? Menurut sejumlah pengamat, Obama akan dikenang sebagai presiden yang mengizinkan penggunaan drone.
Sejak serangan 11 September 2011, dan dilanjutkan dengan perang di Afghanistan dan Irak, AS dipaksa meningkatkan kemampuan melakukan serangan dengan cepat dan akurat ke lokasi-lokasi teroris. Sebelum Obama berkuasa, intelejen dan Pemerintah AS telah sampai pada kesimpulan pentingnya menyerang sarang teroris dan bukan hanya individu pemimpinnya.
Pada masa pemerintahan George W Bush, AS telah menggunakan drone, tapi sangat sedikit. Pemerintah Obama menggunakan drone tiga sampai enam kali lebih banyak dibanding pemerintahan Bush.
Pertanyaannya, untuk kepentingan apa Obama melancarkan perang drone? Dalam tool kit perang melawan teror, drone hanya satu dari sekian banyak senjata yang dipertimbangkan untuk digunakan.
Mungkin yang harus dipahami adalah sebagai presiden pada era modern, penggunaan drone, senjata paling mutakhir AS, adalah persepsi realitas. Serangan drone memang menimbulkan kontroversi, namun bagi sebagian orang—terutama direktur CIA John Brennan—semua ini adalah wajah Pemerintahan AS di bawah Obama. Brennan bahkan telah mendorong penggunaan drone sebagai doktrin Obama.
Kepada Kongres, Brennan secara terbuka mengatakan, penggunaan drone masih tetap penting bagi CIA dan Gedung Putih. Terutama untuk melanjutkan program perang melawan teroris. Drone, menurut Brennan, telah menjadi bagian dari strategi perang, bukan pilihan pengganti.
Di balik semua itu, penggunaan drone berkaitan dengan krisis finansial yang melanda AS sejak Obama menghuni Gedung Putih. Di satu sisi, Obama dituntut untuk terus melancarkan perang terhadap teroris, tapi di sisi lain harus merampingkan anggaran belanja militernya. Jika keuangan AS sehat, drone mungkin hanya menjadi pelengkap program perang melawan teroris, dengan keterlibatan serdadu menjadi sesuatu yang penting.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar